Monday, July 11, 2011

Bacaan tentang Indonesia

Beberapa hari yang lalu gw berkunjung ke rumah sodara gw, kesana niatannya cuma mau nemenin bokap aja ketemu kaka nya yang udah cukup lama ga silaturahmi. Niat silaturahmi yang awalnya hanya berisi omongan ringan yang entah kenapa tiba-tiba berubah jadi ngomongin Indonesia dari sisi lain. Berawal dari om gw ini yang memang dia adalah sejarahwan asal padang (Hidup!padang,haha) cerita kalo beberapa waktu yang lalu dia jadi narsum di TVRI soal Indonesia, jadi mulailah doi cerita-cerita kejadian disana, apa-apa aja yang dibahas, dan jujur itu pengetahuan baru buat gw tentang Indonesia. Dari banyak hal yang dibahas diantaranya itu kenapa bisa muncul nama Indonesia?kenapa nama bahasa kita bahasa Indonesia?padahal kita sebenarnya memakai bahasa yang sama dengan bahasa suku melayu, yaitu bahasa melayu kan?dan lain-lain lah.

Awal nya pengen nulis soal hal ini, tapi gw bingung cara nulisnya. Ya tapi namanya rejeki ga kemana, hari ini gw liat di TL nya akun twitter bang @andibachtiar ada artikel yang nge-resume soal dialog di TVRI itu,hahaha. Jadi yaudah deh, sekalian aja gw post ya :D

Artikel ini gw ambil dari http://www.lenteratimur.com/kun-fayakun-jadilah-indonesia/

Identitas keindonesiaan selalu dimaknai secara berbeda oleh tiap-tiap negeri yang ada di dalamnya. Perspektif tersebut selalu tergantung dari pengalaman yang didera oleh negeri yang bersangkutan dalam perjumpaannya dengan entitas bernama Indonesia. Dua presiden pertama Indonesia pernah mencoba memaksakan identitas Indonesia. Namun, kepemimpinan keduanya berakhir tragis.

Berbedanya cara pandang terhadap Indonesia muncul dalam dialog “Identitas Kebangsaan Indonesia”, Kamis (30/6), yang diselenggarakan oleh stasiun TVRI, Jakarta. Dalam dialog tersebut, hadir sebagai pembicara adalah sejarawan asal Sumatera Barat Taufik Abdullah dan Gusti Asnan, serta sejarawan pemerhati Sumatera-Indonesia asal Selandia Baru Anthony Reid dan pemerhati politik asal Aceh Fachri Ali.

Salah satu hal yang dibahas dalam dialog tersebut adalah identitas Minang yang berada di dalam ruang Indonesia. Identitas Minang, menurut Gusti Asnan yang juga guru besar sejarah di Universitas Andalas, Sumatera Barat, mengalami persoalan pelik di dalam keindonesiaan. Persoalan identitas yang didera oleh orang Minang tersebut tak lepas dari peristiwa perang saudara yang terjadi pada masa silam.

Pada 1950-an, pemerintah pusat di Jakarta mendapat protes keras atas berbagai ketimpangan dan penghisapan yang melanda seluruh daerah di Indonesia. Protes yang bermula dari ketidakadilan ekonomi dan politik itu kemudian mewujud pada perang bersenjata antara Sumatera, yang membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dengan pemerintah pusat di Jakarta. Saat perang yang terjadi pada 1958 takat 1961 itulah Sumatera Barat menempati posisi sebagai motor perlawanan.

Perang ini berujung pada kekalahan Sumatera, juga Sulawesi melalui Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Setelah itu, narasi dipegang oleh sang pemenang. Dan orang Minang lantas mendapat stigma sebagai pemberontak oleh Jakarta. Stigma itu berdampak serius pada identitas Minang.

“Memang parah sekali (dampak labelisasi pemberontak itu). Bahkan orang Minang itu merasa malu menjadi orang Minang. Bahkan orang Minang meninggalkan identitas nama-nama Minang di masa lampau. Orang Minang sampai mengganti namanya seperti kejawa-jawaan,” ujar Gusti, yang mengaku bahwa nama dirinya merupakan nama Bali.

Menurut Gusti, di antara faktor utama yang menggoyang identitas Minang adalah adanya pemerintahan militer di masa lampau. Saat itu, terjadi penyesuaian demi penyesuaian yang luar biasa di Minangkabau. Di tengah kegamangan akibat kalah perang, pusat lantas menawarkan umpan kepada Sumatera Barat untuk ikut bergabung.

“Daripada larut dengan kegagalan di masa lampau, mereka (orang Minang) menyesuaikan diri dengan apa yang diinginkan oleh pusat. Ketika Orde Baru dengan Golkar-nya berkuasa, orang Minang termasuk salah satu daerah dimana Golkar menang sukses yang luar biasa,” tambah Gusti.

Terkait dengan labelisasi pemberontak yang terkait pada perang masa silam, Taufik Abdullah kemudian menanyakan siapa yang memberontak terlebih dahulu.

“Siapa yang memberontak siapa? Kapan pemberontakan itu terjadi? Kalau dari sudut hukum, tentu saja ketika pelanggaran konstitusi terjadi, itu sudah pemberontakan,” kata Taufik.

Taufik lalu merujuk pada Liga Demokrasi di masa lalu yang berisikan banyak partai, di antaranya Partai Masyumi, Partai Sosialis Indonesia, dan Partai Katolik. Liga Demokrasi menyebutkan bahwa Presiden Sukarno-lah yang melanggar konstitusi. Salah satunya adalah ketika Sukarno mengangkat dirinya sebagai formatur kabinet. Padahal, presiden kala itu hanya kepala negara, bukan kepala pemerintahan.

Persoalan pemberontakan juga tidak hanya disebabkan tindakan Sukarno itu. Adanya ketidakadilan yang merebak di seluruh daerah di Indonesia selain Jakarta di Pulau Jawa juga menjadi pemicu.

“Kita mengadakan pemilihan umum (pada 1955) ternyata menghasilkan empat partai besar. Tiga dari partai besar itu adalah partai Jawa, dan satu luar Jawa. Dan kegelisahan terjadi di luar Jawa. Dan tidak dibela oleh tiga (partai) yang (ada) di Jawa,” tambah Taufik.

Sementara itu, Fachri Ali kemudian menyebutkan bahwa Sukarno dan Hatta, yang masing-masing mensosialisasikan gagasan Indonesia kepada masyarakat tak terdidik dan terdidik, pada dasarnya memang belum pernah melakukan dialog. Dialog yang dimaksud adalah tentang bagaimana Indonesia harus dibangun, termasuk sistem politik dan sistem kenegaraan.

Pernah ada institusi buatan Jepang yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Jepang adalah negara yang pernah melakukan penyerbuan terhadap banyak negara di kawasan yang kini bernama Indonesia. Akan tetapi, hasil kerja institusi tersebut agak kejepang-jepangan, terutama pada Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amendemen.

“Kemudian orang-orang PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang dibawah Syahrir itu marah karena dianggap ada unsur-unsur fasisme Jepang di dalam konteks itu,” tukas Fachri.

Setelah itu, lanjut Fachri, Hatta membuat Maklumat X yang membenarkan munculnya partai-partai politik. Yang terjadi kemudian adalah sistem parlementer.

“Kalau Anda lihat pada fakta-fakta sejarah ini, sebenarnya… namanya juga revolusi, tidak sempat ada perundingan-perundingan yang mendalam atau konsep tentang bagaimana Indonesia harus dibuat. Semua berlangsung dengan begitu saja dan cepat. Dan tiba-tiba jadilah. Kun fayakun, begitu. Jadilah Indonesia,” kata Fachri.

Anthony Reid menengarai bahwa revolusi memang tak bisa diramalkan jalan dan berhentinya. Baginya, revolusi selalu merugikan. Revolusi merentangkan suatu kekerasan yang panjang dan kompleks.

“Saya kira ini harga yang dibayar dengan jalan revolusi. Tetapi hadiahnya cukup besar. Hadiahnya adalah bahwa suatu identitas baru diciptakan… Ide Indonesia sudah menang. Semua orang sudah berbahasa Indonesia. Itu hadiahnya. Jadi kita harus sadar bahwa ada harganya, tetapi ada hadiahnya,” ucap Anthony.

Sumpah Pemuda
Dialog ini juga turut membahas kapan Identitas Indonesia bermula. Sebagian orang meyakini bahwa peristiwa Sumpah Pemuda pada 1928 adalah awal dari Indonesia. Akan tetapi, hal itu menjadi paradoks mengingat di masa itu negara-negara yang kini bergabung atau menyerah pada Indonesia masih berdiri dan berdaulat.
Taufik Abdullah lantas menyebutkan bahwa Sumpah Pemuda pada dasarnya tidak memiliki arti apa-apa sebagai fondasi Indonesia. Sumpah yang dilakukan oleh para pemuda itu tak lain hanya dijadikan monumen atau batu pijakan setelah Indonesia ada.

“Jangan lupa, Sumpah Pemuda hanya peristiwa (yang diikuti oleh) paling-paling 300 anak sekolah itu, di Jakarta. Enggak ada arti. (Punya arti) apa? Waktu itu penduduk (di kawasan yang kini disebut) Indonesia sudah kurang lebih 60 juta (jiwa). Enggak usah cerita Ternate, di Jakarta saja banyak yang enggak tahu. Tapi, sejarah tak hanya berkisah tentang masa lalu, tapi juga membuat monumen. Nah, dalam tinjauan ke belakang, ‘haa… iya, ini suatu monumen ini’. Karena ini dianggap sebagai awal dari sesuatu,” kata Taufik.

Sumpah Pemuda dihasilkan dari Kongres Pemuda II yang dilangsungkan di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928. Kongres yang digagas oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) ini diikuti oleh para pemuda berdasarkan identitas masing-masing. Sebut saja Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Java, Jong Celebes, atau Jong Ambon. Mereka, umumnya, adalah pemuda-pemuda keturunan atau datang dari negeri lain yang sedang menyelesaikan sekolah di Pulau Jawa atau di Jakarta, dan bukan utusan dari negara masing-masing.

“Jadi sebagai kongres, tidak ada arti apa-apa. Anak-anak sekolah (saja itu). Sukarno saja enggak ikut. Sukarno sudah insinyur pada waktu itu,” ujar Taufik.

Anak-anak sekolah yang dimaksud oleh Taufik Abdullah itu pulalah yang membuat bahasa Indonesia sebagai nama lain dari bahasa Melayu.

Identitas
Menurut Taufik, banyaknya ketidakpahaman atas identitas sejarah negeri sendiri dimulai dari sekolah. Durasi mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah dianggap tak cukup untuk memberikan pemahaman atas apa yang sudah terjadi.

“Di SMA (Sekolah Menengah Atas) sejarah hanya diajarkan satu jam. Apa mau diharapkan pemahaman orang tentang masa lalu dan tentang apa arti sekarang? Itu suatu ketololan yang konyol saya anggap!” ujar Taufik.

Pelupaan pada apa yang sudah terjadi lantas membuat kesalahkaprahan dimana-mana. Di antaranya adalah adanya istilah ‘persatuan-kesatuan bangsa’. Istilah itu mengandung pelupaan atas identitas-identitas yang ada di Indonesia.

“Itu disebut dalam satu napas sebagai suatu salah kaprah. Persatuan artinya dalam bahasa Indonesia (adalah) berbagai macam corak, berbagai macam benda, kita kumpulkan menjadi satu. Jadi, bangsa Indonesia ada orang Ternate, ada orang Ambon, ada orang Minang, ada orang Aceh. Itu persatuan. Sedangkan kesatuan, kita lebur semua itu menjadi tidak ada artinya. Jadi, kalau disebut persatuan dan kesatuan bangsa, itu sudah konyol,” urai Taufik.

Fachri juga menambahkan bahwa Indonesia merupakan proyek bersama dari berbagai identitas. Ini terlihat dari keberadaan tentara di daerah-daerah di masa lampau yang tak lain merupakan putera dari daerah itu sendiri. Artinya, masing-masing identitas memiliki kontribusi yang sama dalam penciptaan negara bangsa. Namun, dalam perjalanannya, Indonesia memperoleh masalah karena dikuasai oleh sekelompok orang.

“Kemudian negara dikuasai oleh segelintir orang lalu membuat kebijakan-kebijakan atas nama bangsa. Itu yang mungkin menimbulkan persoalan. Dan saya kira ini yang harus disadari sekali oleh pemimpin dewasa ini,” papar Fachri.

Taufik kemudian menambahkan bahwa identitas Indonesia tak bisa dipaksakan. Ia mencontohkan bahwa Sukarno pernah memaksakan identitas bangsa melalui Demokrasi Terpimpin dan Suharto dengan Orde Baru melalui penataran-penatarannya. Indoktrinasi terjadi. Dan keduanya berakhir tragis sekaligus menciptakan tragedi yang luar biasa bagi Indonesia.

“Negara tidak bisa memaksakan identitas (harus) seperti apa. Kita sudah belajar itu. Yang penting adalah tugas negara mewujudkan apa yang dikatakan oleh pembukaan UUD (Undang-Undang Dasar), antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan Pancasila. Seperti apa? Tidak memaksakan ini harus begini. Identitas itu tidak bisa dipaksakan,” tegas Taufik.

Menurut Taufik, ketika negara sudah mencampuri kehidupan masyarakat, mencampuri kehidupan orang, ketika itulah awal tragedi dimulai.
“Kita sudah belajar dari sejarah itu. Dan jangan coba-coba memulai lagi seperti itu,” tegas Taufik.
**
Nah itu sedikit cerita temen-temen, semoga nambah pengetahuan kita lagi tentang Indonesia ya,he.... :D

Pendapat “Saat Ini” tentang Bapak Presiden

Sebelumnya maaf kalo kicauan saya ini tidak punya dasar, bukan maksud menyinggung ato menyudutkan pihak yang pro ato anti terhadap oknum yang saya sebutkan ini. Saya cuma entah kenapa ingin menulis ini aja ko,he...

Diawali dengan melihat pidato yang terjadi tanggal 11 juli 2011 malam tadi, entah kenapa semakin memantapkan hati saya, saya ternyata memang tidak menyukai bapak presiden SBY. Bukan tanpa dasar saya tidak menyukai beliau, banyak hal yang membuat saya berpikir seperti ini.
Mungkin sedikit cerita saja awal mula “kegondokan” saya kepada beliau, yang membuat saya apatis dengan pemerintahan saat ini. Dimulai dari PEMILU Presiden yang terjadi 2009 lalu, kaka saya yang kebetulan adalah wartawan kepresidenan mendengar kabar-kabar yang tidak mengenakkan pada PEMILU lalu, dimulai dari server KPU yang berisi data pemilihan rusak yang membetulkannya adalah pihak independent dari amerika, yang semenjak itu entah kenapa peta persebaran perolehan suara jadi aneh dari awalnya. Data DPT yang banyak tumpang tindih dan munculnya beberapa puluh juta suara yang muncul secara aneh. Dan yang lebih aneh adalah, para wartawan telah mengetahui gosip itu, dan sudah tersebar dikalangan mereka, tapi kenapa tidak ada satupun yang mengungkit hal itu di media mereka? tanya kenapa?. Kemudian kejadian Bom kuningan Juli 2009 (Kalau saya tidak salah :p ) dimana saat itu rakyat dilanda rasa takut, takut jikalau bom itu akan terjadi lagi disekitar mereka, dimana pada saat itu rakyat membutuhkan kepastian dari pemerintah bahwa itu akan diatasi dengan baik tanpa membuat mereka khawatir. Tapi ternyata oh ternyata presiden kita lebih memikirkan dirinya, beliau lebih mau menceritakan curahan hatinya tentang beliau yang dijadikan objek latihan tembak teroris dibanding memperhatikan rakyat dan memberikan rasa aman kepada rakyatnya.
Kemudian masalah pemilihan menteri kabinet indonesia bersatu jilid 2, mayoritas yang menempati posisi menteri adalah orang yang bukan profesional dan ahli di bidangnya, tapi titipan dari partai koalisinya. Tidak percaya?silahkan kalau ada waktu teman-teman cek background para menteri, dan liahat seperti apa. Jadi saya siy tidak heran kalau berdasarkan hasil survey UKP4 (Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) kurang dari 50% instruksi presiden ga dijalankan. Kinerja para menteri buruk berarti kan ya?logisnya si di reshuffle kan ya?nyatanya?ya kita liat nanti aja lah ya,he.
Ada juga kasus antara Indonesia vs Malaysia, dimana terjadi ketegangan, mulai dari budaya perbatasan dan lain-lain. Hah! Malas saya bercerita soal ini, karena semua teman-teman pastinya sudah tau bagaimana sikap presiden kita. Ada juga kasus soal TKI ruyati, tentu ingat bukan? TKI kita yang akan dihukum pancung tapi pemerintah baru tau beberapa hari sebelumnya. Padahal beberapa hari sebelumnya Pak Presiden baru pidato soal tenaga kerja, yang memuji-muji tenaga kerja Indonesia setinggi langit sampai mendapatkan standing applause dari peserta (yang kalau dilihat dari videonya ada yang aneh dengan standing applausenya, responnya lambat, tapi media mengekspos berlebihan, kalau saya siy nganggepnya pencintraan :p ). Yang saya soroti siy sebenarnya bukan kenapa siy ruyati ini bisa kena pancung? Bukan itu, tapi kenapa kasus ini baru diketahui beberapa hari sebelum eksekusi???katanya TKI pahlawan devisa???jelas kan, berarti tidak ada pendampingan dari pemerintah dan ternyata pemerintah tidak menganggap TKI kita itu sebagai “pahlawan” sehingga tidak begitu diperhatikan. Pada kasus ruyati ini, Pak presiden butuh waktu 2 minggu untuk menanggapinya, tapi pada kasus berita yang menjelekkan citranya beliau Cuma butuh 3 hari untuk menanggapinya *plok plok plok*. Dan kasus-kasus yang melibatkan kader partainya, gimana kasusnya?silahkan liat dan pahami apa yang terjadi terhadap kasus-kasus tersebut. Dan masih banyak lagi hal-hal yang membuat saya “apatis” terhadap pemerintahan saat ini, puncaknya hari ini, ditanggal 11 juli 2011 ini. Ada yang liat pidato beliau seperti apa?kalau saya siy melihatnya beliau lebih terlihat sebagai Pimpinan Partai dibandingkan Kepala Negara.
Memang yang saya ceritakan diatas adalah Cuma pendapat buruk saya saja mengenai kepemimpinan Pak Pres. Nyatanya, sebenarnya cukup banyak prestasi yang beliau torehkan di kepemimpinannya sekarang, muali dari niali ekspor yang mencapai rekor pada juni tahun 2011 ini, IHSG yang nembus 4000 (walopun saya gtw IHSG apaan, Cuma tau indeks harga saham gabungan,hahaha), Indonesia salah satu negara yang stabil perekonomiannya padahal sedang ada krisis yang melanda beberapa negara, Indonesia yang katanya sudah bisa disejajarkan dengan Cina,India, Brazil dan Rusia sebagai calon raksasa ekonomi dunia, Dan masih banyak lagi. Kita seharusnya memang tidak boleh menutup mata terhadap kesuksesan beliau. Saya akui itu.
Tapi kisah sukses itu entah kenapa tidak membuat Kebanggaan saya sebagai Bangsa Indonesia bertambah, hanya diam di tempat, tak bergerak, meratapi yang terjadi. (semoga hanya saya yang berpikiran ini)
Kenapa judul blognya “Pendapat “Saat Ini” tentang Bapak Presiden” ? ya karena saat ini saya memang merasa seperti itu. Saya hanya berharap Pendapat “saat ini” tentang Bapak Presiden bisa berubah, berubah dikemudian hari, dimana presiden kita benar2 memntingkan rakyatnya buka citra dirinya, dimana segala kebijakan benar2 karena kepentingan rakyatnya buka karen titipan kepentingannya, dimana akhirnya kita bisa sama-sama merasa bangga, bangga terhadap Indonesia.

Friday, July 8, 2011

Penasaran

Dari dulu sampai saat ini sebenernya gw bingung deengan yang namanya "blog" itu.Makanya sekarang gw ingin menghilangkan rasa penasaran itu dengan mencoba ngeblog langsung, and here i am!! postingan pertama gw, walaupun ga penting,tapi takpapa lah :))))
Mohon bantuannya ya teman2, bantu teman anda yang gaptek ini :p